Neoliberalisme
Label: NeoliberalismeRabu, 30 September 2009
Konfederasi KASBI
(Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia)
Menolak RUU
Kelistrikan dan Mendukung SP PLN Melawan RUU Kelistrikan
Neoliberalisme adalah berkurangnya atau bahkan
hilangnya peran negara dalam mengurusi/melindungi kepentingan publik atau hajat
hidup rakyat. Dalam konteks kekinian, hajat hidup tersebut adalah tempat
tinggal/perumahan, pangan atau lapangan kerja, kesehatan, pendidikan, kebutuhan
energi dan listrik serta air.
Hilangnya peran negara ditunjukkan dengan
dialihkannya pengelolaan dan pelayanannya kepada pihak swasta. Swasta ini bisa
asing atau pengusaha Indonesia. Ketika diserahkan
pihak swasta, maka yang terjadi adalah upaya pihak pengelola tersebut untuk
mendapatkan keuntungan sebesar besarnya. Keuntungan tersebut didapat dari
konsumen, yakni Rakyat Indonesia. Pengalihan peran ini
diberikan payung hukum yang dibuat oleh DPR RI dan pemerintah.
selanjutnya :
Liberalisasi Listrik
Label: Liberalisasi Listrik, Tarif Listrik, TDL NaikSelasa, 15 September 2009
“Tarif listrik pada sisi konsumen akan naik akibat liberalisasi ketenagalistrikan,” ungkap Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja BUMN Strategis Ir Ahmad Daryoko dalam makalah seminarnya beberapa waktu yang lalu.
Pasalnya, menurut Daryoko, konsep liberalisasi yang kembali dihidupkan dalam Rancangan Undang Undang (RUU) Ketenagalistrikan yang baru menyebabkan jaringan yang semula dimiliki PLN akan dikuasai banyak pihak.“Akan terjadi banyak proses bisnis antara dua institusi bisnis yang berbeda,” jelasnya,
Misalnya, lanjut Daryoko, sektor pembangkit akan dikusai swasta asing, karena mahal. Sektor transmisi dan distribusi akan dimiliki oleh BUMN, sementara sektor retail akan dikuasai oleh swasta.
“Dari sektor pembangkit ke transmisi ada porses bisnis (pajak dan lain-lain, red), dari transmisi ke distribusi ada proses bisnis, dari disribusi ke retail juga ada proses bisnis, dari retail ke konsumen terdapat porses bisnis lagi,” tegasnya.
Menurut Daryoko, liberalisasi ketenagalistrikan akan mengakibatkan pemerintah kehilangan instrument kontrol. “Pemerintah tidak bisa lagi menerapkan tariff dasar listrik seperti saat ini karena mekanisme diserahkan kepada pasar,” jelasnya, “Hilanglah kesempatan pemerintah untuk melindungi rakyat banyak atas kebutuhan pokoknya,”
Liberalisasi Listrik Pesanan Asing
Sebelumnya, pemerintah pernah mencoba menerapkan liberalisasi ketenagalistrikan melalui UU Nomor 20 Tahun 2002. UU itu kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945.
Kini RUU Ketenagalistrikan baru akan disahkan DPR. Namun RUU Ketenagalistrikan yang baru ini dinilai masih mengusung konsep liberalisasi. Pertanyaannya kemudian adalah mengapa pemerintah bersikeras meliberalisasi sektor ketenagalistrikan nasional?
Ternyata, ungkap Daryoko, dalam dokumen Letter of Intent (LOI) yang terbit pada awal tahun 1998, pada butir 20 menyebutkan tentang penerapan liberalisasi ketenagalistrikan nasional. “Dengan demikian terbukti sudah bahwa intervensi asing sangatlah dominan dalam penerapan liberalisasi ketenagalistrikan, kendati liberalisasi itu akan menyengsarakan rakyat,” ungkapnya.
Undang-Undang Ketenagalistrikan dan Liberalisasi
Label: Liberalisasi, Undang-Undang KetenagalistrikanOleh: Indah Dwi Qurbani
SEPERTI diduga sebelumnya, DPR akhirnya mengesahkan revisi UU No 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan pada 8 September lalu. Saat itu, 25 anggota DPR yang hadir kompak menyatakan setuju atas RUU Ketenagalistrikan. Dengan demikian, UU No 15 Tahun 1985 dinyatakan tidak berlaku lagi. (JP, 9/9/2009)
Sebelumnya, pemerintah pernah mengesahkan UU Ketenagalistrikan No 20 Tahun 2002. Tetapi, UU itu dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 21 Desember 2004. Sembilan hakim konstitusi dengan jelas menyatakan bahwa UU No 20 Tahun 2002 secara keseluruhan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan mengikat secara hukum karena paradigma yang mendasari bertentangan dengan pasal 33 UUD 1945 ayat (1), (2), (3), dan (4), serta penjelasan pasal 33.
Dasar hukum itulah yang membuat segala hal terkait kebijakan perundang-undangan atau kebijakan di bawahnya, jika menyangkut usaha untuk melanjutkan semangat untuk meliberalisasi, memprivatisasi, atau mengomersialisasi sektor ketenagalistrikan, harus dinyatakan bertentangan dengan konstitusi.
Namun, yang disahkan DPR saat ini tak jauh berbeda. Tengok beberapa pasal di dalamnya, seperti pasal 10, 11, 12, dan 13 yang menyangkut pemisahan usaha penyediaan tenaga listrik menjadi usaha pembangkitan, transmisi, distribusi, dan penjualan. Klausul itu praktis menjadikan listrik sebagai barang jualan, yang jauh dari tujuan dasarnya, untuk memenuhi kebutuhan energi bagi warga negaranya.
Bukan hanya itu. Pengesahan UU Kelistrikan tersebut juga makin memuluskan jalan pemerintah untuk menaikkan tarif dasar listrik (TDL). Bagaimana tidak, pemerintah sudah berancang-ancang untuk menjual pembangkit listrik Jawa Bali (PJB) kepada pihak asing. Jika itu terjadi, TDL akan naik sampai lima kali lipat. Belum lagi penarikan subsidi listrik oleh pemerintah. Jika pembangkit listrik dijual kepada asing, otomatis subsidi yang saat ini diterima masyarakat, yang hanya membayar Rp 650 per KwH (kilowatt per jam) dari biaya produksi listrik Rp 2.600 per KwH tak bisa lagi dinikmati. Pihak investor dipastikan menjualnya sesuai mekanisme pasar yang berada di atas biaya produksi.
Masalah Besar
Dilihat dari substansi revisi, ada dua hal yang bisa menjadi masalah besar di kemudian hari. Pertama, soal regionalisasi tarif listrik. Jangan heran jika pada tahun mendatang tarif listrik di satu daerah dengan yang lain bisa berbeda. Undang-Undang Ketenagalistrikan yang disahkan DPR memberikan wewenang penuh kepada pemerintah daerah (pemda) menetapkan harga listrik.
Sekalipun prosedur yang ditetapkan mengharuskan pemda meminta restu terlebih dahulu kepada DPR dan tarif listrik yang diputuskan juga harus mengacu pada tarif yang ditetapkan pemerintah pusat, tak ada jaminan model tersebut bakal menjadi lebih baik.
Jauh sebelum RUU Ketenagalistrikan disahkan, Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) menegaskan, jika model regionalisasi tarif ditetapkan, daerah masih membutuhkan subsidi dari pusat.
Regionalisasi tarif listrik hanya bisa diimplementasikan di daerah-daerah berbasis industri dan kebanyakan warganya masuk kelas menegah atas. Misalnya, Kalimantan Timur, Batam, dan Kepulauan Riau. Sebab, pelanggan mesti membayar lebih mahal.
Kedua, liberalisasi ketengalistrikan. UU Ketenagalistrikan (UUK) yang baru membolehkan swasta menguasai pembangkit sekaligus jaringan distribusi listrik untuk kepentingan umum. Itu berarti, UU Ketenagalistrikan yang baru menghapus monopoli PLN alias liberalisasi listrik. Dalam konsideran menimbang disebutkan bahwa perubahan UUK didasari adanya ketidaksesuaian Undang-Undang No 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan dengan tuntutan perkembangan keadaan dan perubahan kehidupan masyarakat.
Jika menggunakan logika berpikir yang selama ini dianut pemerintah, sangat mudah memahami bahwa yang dimaksud adalah tuntutan untuk melaksanakan agenda-agenda liberalisasi ekonomi sesuai dengan arahan lembaga-lembaga keuangan internasional pemberi utang (IMF, World Bank, ADB), perjanjian-perjanjian perdagangan bebas dengan WTO, dan perjanjian perdagangan bebas kawasan (free trade agreement).
Liberalisasi sektor ketenagalistrikan di Indonesia berpotensi merugikan masyarakat dan bangsa Indonesia. Kebijakan pemisahan usaha penyediaan tenaga listrik dengan sistem unbundling vertikal yang tercantum dalam pasal 10, 11, 12, dan 13 RUUK yang meliputi usaha pembangkitan, transmisi, distribusi, dan penjualan merupakan upaya privatisasi pengusahaan tenaga listrik dan telah menjadikan tenaga listrik sebagai komoditas pasar, yang berarti tidak lagi memberikan proteksi kepada mayoritas rakyat yang belum mampu menikmati listrik.
Demikian halnya dengan agenda unbundling horizontal yang tercantum dalam pasal 3 ayat (1), (2), dan (3) diberlakukan dengan pemberian kewenangan pengelolaan kelistrikan kepada pemda. Dalam jangka panjang, pemda dapat dipastikan akan menuai kesulitan dalam pengelolaan kelistrikan. Terkecuali bagi sebagian kecil pemda yang mampu.
Dengan disahkannya UU Ketenagalistrikan, sekali lagi, kepentingan negara dikalahkan kepentingan pemodal dan dikte lembaga keungan internasional. Dan, sayangnya, para pengurus negara justru turut menjadi pelayan praktik penjajahan ekonomi di negeri ini.
Paranoid berlebihan kepada lembaga keuangan asing yang kerap dipertontonkan pengurus negeri ini nyaris tanpa alasan. Presiden Venezuela Hugo Chavez setidaknya telah membuktikan hal itu. Segera setelah berkuasa pada 1999, Chavez telah membayar seluruh utang Venezuela kepada IMF. Belum lama ini Venezuela juga telah melunasi utangnya kepada Bank Dunia lima tahun lebih cepat daripada jadwal. Menyuntikkan dana tak berbunga kepada Argentina dan Bolivia melalui lembaga yang disebut Compensatory Fund for Structural Convergence.
Karena itu, bila pemerintah RI kesulitan mengelola PLN secara mandiri, ada baiknya merapat ke Venezuela, meminta dukungan dana tak berbunga, untuk kemudian melepaskan diri dari cengkeraman ADB, IMF, dan Bank Dunia, daripada menyerahkan pengusahaan listrik negara kepada mekanisme pasar.(*)
*). Indah Dwi Qurbani, mahasiswa Program Doktoral Ilmu Hukum Unair
Manusia hidup terbagi dua
Label: Manusia hidup terbagi duaSenin, 14 September 2009
Hidup terbagi dua menurut ustadz yang lagi ceramah di masjid Ar Rahman yaitu :
yang pertama manusia hidup diberi oleh Allah SWT berupa kenikmatan atau hidup yang berkecukupan atau tidak kekurangan apa - apa alias kaya, dan yang kedua manusia hidup diberi Allah SWT Kenikmatan yang serba kekurangan alias melarat atau miskin.
Namun bagi manusia yang mendapatkan nikmat kaya seharusnya selalu bersyukur, syukur berati membuka tangan berasal dari kata syukuru syakaru sukron, dan diharapkan dan di wajibkan selalu menolong yang miskin namun bukan pengemis di jalanan.
Manusia kaya jangan sampai lebih pintar dalam perkalian dan Penambahan tidak pintar dalam Pengurangan dan Pembagian.
Pintar perkalian atau Penambahan saja berarti orang seperti ini bahil atau medit, tidak mau mengerti tentang pengurangan 2,5% untuk kaum duafa dan pembagian untuk orang duafa pula.
Manusia Miskin harus selalu sabar dan sabar, jangan hanya kemiskinan menjadikannya seorang yang kuffur akan nikmat Allah SWT,
Bisa dilihat di siaran Televisi, seorang ibu muda mencuri di supermarket dan perbuatan² yang hina lain, misal mengemis di jalanan dan inilah miskin yang terhina.
KONTROVERSI LISTRIK SWASTA
Label: KONTROVERSI LISTRIK SWASTA(PENUNJUKAN LANGSUNG PT PEC SEBAGAI PEMILIK PLTU PAITON 3)
Point penekanan perjuangan SP PJB adalah:
1. Berdasarkan master plan pembangunan kawasan PLTU Paiton yang didesain pada tahun 1985, Common Asset Facilities (Chlorination plant, coal handling system, Water Treatment Plant, H2 Plant, Double conveyor, Ship Unloader, Oil Jetty, Coal stockyard, intake tunnel) yang dibangun sebagai auxiliary plant PLTU Batubara 4 x 400 MW (unit 1,2,3 dan 4) senilai US$ 163/kW, dengan adanya penunjukan langsung PT PEC (Paiton Energy Company) sebagai IPP yang berhak membangun, memiliki dan mengoperasikan PLTU Paiton unit 3 tanpa melibatkan PT PJB sebagai pemilik Sertifikat HGB & common asset facilities, maka nilai investasi yang telah ditanamkan sejak tahun 1992 senilai US$ 130,706,427 (untuk 2 x 400 MW) menjadi tidak termanfaatkan, sehingga hal tersebut berpotensi menimbulkan kerugian Negara sebesar Rp. 1,24 Triliun.
2. Bahwa proses tender terbatas yang dipublikasikan di media massa pada pertengahan Februari 2007 yang hanya diikuti PT PEC & PT Jawa Power dan akhirnya PT PEC ditunjuk langsung sebagai pemenang pada tanggal 30 Mei 2007 hanyalah upaya pembohongan public, karena pada tahun 2004 telah ada kesepakatan antara PLN dengan PT PEC dan hasil keputusan RUPS PT PJB jelas-jelas dikatakan bahwa PT PJB tidak boleh membangun PLTU Paiton unit 3&4. Kronologis proses penunjukan PT PEC sebagai pemilik & pengelola PLTU Paiton unit 3 adalah sebagai berikut:
· 16 Juni 2004, Dirut PT PLN (Persero) menerima surat penawaran investasi dari Direktur Welback Industrial Limited (investor dari Hongkong). Surat tersebut juga ditembuskan kepada: Menneg BUMN (Laksamana Sukardi), Menteri ESDM (Purnomo Yusgiantoro), Dirjen LPE (Yugo Pratomo), Sekjen kementrian ESDM (Luluk Sumiarso), Deputy Menneg BUMN (Roes Aryawijaya), PT Winata Karya Prima (KMT Pangarsosunu).
· 16 Agustus 2004, Dirut PT PLN (Persero) menerima surat penawaran harga listrik dari Direktur Welback Industrial Limited (investor dari Hongkong), dengan nilai penawaran total (komponen A, B, C & D) sebesar US$ 0,0426/kWh. Surat tersebut juga ditembuskan kepada: Presiden RI (Megawati Soekarno Putri), Dubes China di Indonesia (Tan Wei Wen), Menko Ekonomi (Dorojatun Kuntjorojakti), Menneg BUMN (Laksamana Sukardi), Menteri Keuangan (Boediono), Menteri ESDM (Purnomo Yusgiantoro), Dirjen LPE (Yugo Pratomo), Sekjen kementrian ESDM (Luluk Sumiarso), Deputy Menneg BUMN (Roes Aryawijaya), PT Winata Karya Prima (KMT Pangarsosunu).
· 27 September 2004, Dirut PT PLN (Persero) Bpk Eddie Widiono S mengirim surat balasan kepada Direktur Welback Industrial Limited yang isinya menyatakan bahwa pada saat itu PLN sedang melakukan negosiasi dengan PT PEC terkait Expansion Agreement (EA).
· 6 Nopember 2004, Dirut PT PLN (Persero) Bpk Eddie Widiono S menerima detail surat penawaran harga dan skema pembayaran listrik dari Direktur Welback Industrial Limited. Pada Surat tersebut, dipaparkan rincian harga komponen A sebesar US$ 0,0276/kW, komponen B sebesar US$ 0,003/kW, komponen C = US$ 0,011/kWh dan komponen D = US$ 0,001/kWh. Dengan skema pembayaran sbb:
- Welback Industrial Limited bersedia membayar semua biaya investasi dengan komposisi saham (welback 51% - PLN 49%), dan dana 49% tersebut adalah pinjaman lunak dari welback.
- Welback Industrial Limited bersedia bekerjasama dengan PLN atau Anak Perusahaan atau corporate lainnya yang ditunjuk oleh PLN.
- Welback Industrial Limited menjanjikan penyelesaian project dengan durasi 24-36 bulan.
Surat tersebut juga ditembuskan kepada: Presiden RI (Megawati Soekarno Putri), Dubes China di Indonesia (Tan Wei Wen), Menko Ekonomi (Dorojatun Kuntjorojakti), Menneg BUMN (Laksamana Sukardi), Menteri Keuangan (Boediono), Menteri ESDM (Purnomo Yusgiantoro), Dirjen LPE (Yugo Pratomo), Sekjen kementrian ESDM (Luluk Sumiarso), Deputy Menneg BUMN (Roes Aryawijaya), PT Winata Karya Prima (KMT Pangarsosunu).
· 17 Desember 2004, Dirut PT PLN (Persero) Bpk Eddie Widiono S mengirim surat kepada Direktur Welback Industrial Limited yang isinya menegaskan bahwa pada saat itu PLN sedang melanjutkan diskusi dengan PT PEC berdasarkan MOU yang telah ditandatangani antara PLN dengan PT PEC.
· 18 Januari 2007, dilakukan RUPS PT PJB yang intinya pemegang saham (PT PLN) melarang PT PJB untuk mengikuti tender pembangunan PLTU Paiton 34 dengan alasan PT PJB tidak mempunyai dana yang cukup untuk membangun pembangkit tersebut, dan dikhawatirkan akan menyulitkan keuangan PLN sebagai induknya. Padahal sebenarnya, jika PT PJB dijinkan untuk menggandeng partner maka Welback Industrial Limited telah bersedia mengucurkan modal 100% uang welback, dengan model sharing saham. Di mana saham welback : PT PJB = 51% : 49%, dan PT PJB tidak perlu mengeluarkan modal sedikitpun karena pinjaman lunak dari welback industrial dapat dibayarkan oleh PT PJB dari pendapatan PLTU unit 34 setelah beroperasi.
Selain itu, jika dikatakan bahwa PT PJB tidak mempunyai uang, maka hal itu tidaklah benar mengingat selama ini 100% saham PLTU Cilacap adalah dibiayai oleh PT PJB.
· 16 Februari 2007 dilakukan tender terbatas untuk pembangunan PLTU Paiton 34 dengan peserta PT PEC (pengelola PLTU Paiton unit 78) dan PT Jawa Power (pengelola PLTU Paiton unit 56).
· Tanggal 30 Mei 2007 PT PEC ditunjuk oleh PT PLN (Persero) sebagai pengembang PLTU Paiton 34.
· Pertengahan Agustus 2007 dilakukan penandatanganan Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement (IJ-EPA) antara Presiden RI dengan PM Jepang Shinzo Abe (salah satunya adalah terkait PLTU Paiton unit 34 senilai US$ 720 juta)
· 4 Agustus 2008 penandatangan Power Purchase Agreement (PPA) antara PT PLN (Persero) dengan PT PEC yang dilakukan oleh Dirut PLN Fahmi Mochtar dengan Presdir PT PEC Kaizo Ogata. Dalam pers release PT PEC, disebutkan bahwa PT PEC berhak membangun, memilki dan mengoperasikan PLTU Paiton unit 3 dengan kapasitas 1 x 815 MW selama 30 tahun dengan total harga penjualan listrik US$ cent 4,3/kWh.
3. Berdasarkan pernyataan Deputy Direktur IPP PT PLN (Persero) Binarto Bekti Mahardjana, harga jual listrik dari PT PEC kepada PT PLN (Persero) senilai US$ 0,043/kWh, itu diasumsikan harga bahan bakar batubara yang dipakai adalah US$ 30/Ton dengan nilai kalor batubara 5000 kCal/kg (medium rank coal). Harga batubara yang disebutkan tersebut sangatlah tidak wajar, karena berdasarkan publikasi Indonesia Coal-Price Index (ICI) pada tanggal 6 Juni 2008 harga di pasaran untuk medium rank coal adalah US$ 75,58/Ton sehingga hal ini akan berpotensi menimbulkan pembengkakan harga jual listrik dari PT PEC kepada PT PLN (Persero) atau adanya kemungkinan PT PEC akan meminta bahan bakar batubara di pass trough oleh pemerintah (PLN). Saat ini trend harga batubara selalu mengalami kenaikan. Dapat dikatakan bahwa PT PEC dalam melakukan bisnis tenaga listrik tidak berani menanggung resiko fluktuasi harga bahan bakar.
Dari ketiga point penekanan perjuangan SP PJB dalam menolak PT PEC sebagai pemilik & pengelola PLTU Paiton 34, maka SP PJB menyerukan kepada public bahwa:
1. Proses tender terbatas yang dilakukan oleh PT PLN (Persero) tidak transparan & terindikasi ada keberpihakan manajemen PT PLN (Persero) terhadap PT PEC. Proses ini dapat kami katakan sebagai upaya pembohongan public, sehingga cacat hukum. Untuk itu, kami menyerukan agar proses tender tersebut diulang dengan membuka kesempatan kepada semua pihak yang kompeten menangani bisnis pembangkitan tenaga listrik, dengan tetap mengedepankan kepentingan rakyat Indonesia yakni adanya layanan listrik murah, handal dan cepat mengatasi permasalahan krisis energi di Indonesia.
2. Pemerintah harus tegas dan lebih berpihak pada kepentingan Nasional Indonesia daripada kepentingan investor asing, mengingat selama ini sekitar 20% pengeluaran biaya PLN adalah untuk pembelian listrik swasta. Sehingga dapat dikatakan bahwa penikmat subsidi pemerintah yang sebenarnya adalah investor listrik swasta.
3. Common asset facilities milik PT PJB yang sejak tahun 1983 didesain sebagai fasilitas penunjang pada PLTU paiton unit 1,2,3 dan 4 (4 x 400 MW) senilai total Rp. 2,48 Triliun harus termanfaatkan sehingga tidak terjadi potensi kerugian Negara sebesar Rp. 1,24 Triliun.
4. Jika ternyata dalam proses tender ulang, sebagaimana seruan pada point (1) di atas dilakukan karena “tender terbatas” tersebut cacat hukum, maka PT PJB sebagai pemilik common asset facilities sebagaimana disebutkan pada point (3) di atas, harus dilibatkan dalam pemilikan (berupa sharing saham/penyertaan modal) dan atau pengelolaan (O/M) oleh siapapun pemenang tender ulang, agar didapatkan harga jual listrik ke PLN yang paling ekonomis serta paling cepat penyelesaian projectnya agar krisis energi listrik yang terjadi dapat segera teratasi. Common asset facilities yang dimiliki PT PJB dan dapat mendukung keekonomian harga jual listrik & kecepatan penyelesaian project senilai US$ 163/kW (setara dengan 14% nilai asset untuk PLTU batubara yang menggunakan desain mesin Amerika atau Jepang).
5. Informasi yang disampaikan oleh pihak korporat PLN mengenai penandatanganan Power Purchase Agreement (PPA) antara PT PLN (Persero) dengan PT PEC bahwa harga jual listrik swasta sebesar US$ 0,043/kWh selama 30 tahun dengan menggunakan medium rank coal (5000 kCal/kg) dengan asumsi harga batubara US$ 30/Ton adalah merupakan upaya pembohongan public agar seolah-olah harga listrik yang ditawarkan PT PEC sangat murah (lebih murah dari IPP lainnya). Sebagai pembanding, untuk saat ini harga batubara kelas menengah di pasaran berdasarkan Indonesia Coal-Price Index (ICI) mencapai US$ 75,58/Ton, sehingga masyarakat perlu mencermati & mewaspadai adanya upaya dari pihak PT PEC untuk meminta penyesuaian tariff kepada PT PLN (Persero) ataupun Pemerintah RI, sesuai perkembangan harga pasar batubara Internasional. Sedangkan di sisi lain, Tarif Dasar Listrik (TDL) di setting tidak boleh naik hingga Pemilu 2009, sekalipun harga BBM dan Batubara mengalami kenaikan. Dengan adanya pass trough batubara oleh PLN (Pemerintah), maka dapat dikatakan bahwa harga energi listrik sebesar US$ 0,043/kWh hanyalah upaya untuk mengelabuhi masyarakat agar seolah-olah harga listrik swasta memang murah.
Kebijakan TDL 2010 oleh Pemerintah
"Selain penetapan margin sebesar 5 persen, juga ada kebijakan tarif yang akan ditempuh oleh pemerintah pada 2010," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam rapat kerja Panitia Anggaran DPR di Jakarta, Kamis.
Menkeu menyebutkan, margin sebesar 5 persen tersebut sudah masuk ke dalam alokasi subsidi listrik pada 2010 sebesar Rp37,8 triliun.
"Penetapan marjin 5 persen sangat dibutuhkan terutama untuk menunjang kesehatan PLN dan rasionalitas untuk pembiayaan operasional, lalu ada kebijakan tarif yang akan ditempuh oleh pemerintah pada 2010," kata Menkeu.
Menkeu menyebutkan, pemerintah akan sangat hati-hati dalam menetapkan kebijakan TDL dengan memperhatikan kondisi masyarakat yang baru pulih dari dampak negatif krisis global di 2009.
"Upaya pemerintah untuk menjaga pertumbuhan ekonomi 2010 harus tetap dijaga, sementara dari aspek kesehatan PLN termasuk di dalamnya efisiensinya, perlu terus diperhatikan," ujarnya.
Ia menyebutkan, dalam kebijakan TDL pemerintah akan memperhatikan tiga aspek, yaitu daya beli masyarakat dan kesejahteraan masyarakat, kebutuhan untuk mempercepat pemulihan ekonomi, dan kesehatan PLN.
"Nanti kita lihat dari tiga itu, mana yang lebih tepat mengenai tarif," kata Menkeu menjelaskan.
Rapat kerja Panitia Anggaran DPR dengan Menkeu menyepakati subsidi listrik 2010 sebesar Rp37,8 triliun. Jumlah itu terdiri dari subsidi tahun berjalan Rp35,3 triliun dan pengurangan alokasi carry over tahun 2009 ke tahun berikutnya sebesar Rp2,5 triliun.
Rapat juga menyepakati asumsi dasar, pendapatan, defisit, dan pembiayaan RAPBN 2010.
Terkait asumsi dasar disepakati asumsi pertumbuhan ekonomi sebesar 5,5 persen (sebelumnya diusulkan 5,0 persen), inflasi 5,0 persen (tetap), nilai tukar Rp10.000 per dolar AS (tetap), tingkat bunga SBI 3 bulan 6,5 persen (tetap), harga minyak 65 dolar AS per barel (dari 60 dolar AS), lifting minyak 965 ribu barel per hari, dan PDB Rp5.981,37 triliun (dari Rp6.050,05 triliun).
Sementara itu target penerimaan negara 2010 naik Rp38,1 triliun menjadi Rp948,2 triliun dibanding dalam nota keuangan keuangan 2010 sebesar Rp910,1 triliun.
Jumlah itu terdiri dari penerimaan perpajakan sebesar Rp715,5 triliun naik dibanding sebelumnya Rp702 triliun.
Penerimaan dari pajak perdagangan internasional naik menjadi Rp27,2 triliun dari Rp27,1 triliun.
Sementara penerimaan negara bukan pajak (PNBP) naik menjadi Rp205,4 triliun dibanding Rp180,9 triliun. Jumlah itu terdiri dari penerimaan SDA Migas sebesar Rp120,5 triliun naik dari sebelumnya Rp101,3 triliun.
Penerimaan dari SDA nonmigas mencapai Rp11,5 triliun naik dari rp10,2 triliun. Penerimaan deviden BUMN naik menjadi Rp24 triliun dari Rp23 triliun, PNBP lainnya Rp39,9 triliun naik dari Rp36,7 triliun. Sedangkan pendapatan dari badan layanan umum (BLU) mencapai Rp9,5 triliun naik dari Rp9,7 triliun, dan hibah mencapai Rp1,5 t dari Rp1,4 triliun. (*)
SIARAN PERS ESDM TENTANG UU KETENAGALISTRIKAN
Label: SIARAN PERS ESDM TENTANG UU KETENAGALISTRIKANDEPARTEMEN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL
REPUBLIK INDONESIA
SIARAN PERS
NOMOR : 61/HUMAS DESDM/2009
Tanggal : 8 September 2009
RANCANGAN UNDANG-UNDANG KETENAGALISTRIKAN DISETUJUI MENJADI UNDANG-UNDANG KETENAGALISTRIKAN
RUU Ketenagalistrikan tersebut telah dibahas dalam Pembicaraan Tingkat I antara DPR RI dengan Pemerintah. Beberapa konsepsi dan pokok-pokok pengaturan yang terkandung dalam RUU Ketenagalistrikan adalah seperti berikut :
Tenaga listrik merupakan infrastruktur yang mempunyai peranan penting dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan menunjang pembangunan di segala bidang. Sesuai dengan ketentuan Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dalam RUU ini dinyatakan bahwa usaha penyediaan tenaga listrik dikuasai oleh negara yang penyelenggaraannya dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah daerah. Konsepsi tersebut sekaligus untuk mengakomodasi putusan Mahkamah Konstitusi atas Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan dalam sidang tanggal 15 Desember 2004 yang mengamanatkan agar usaha penyediaan tenaga listrik dikuasai oleh negara.
2. Pemerintah merupakan regulator dan pelaku usaha di bidang ketenagalistrikan.
Selain sebagai regulator yang berwenang menetapkan kebijakan, pengaturan, pembinaan dan pengawasan. Dalam hal kewenangan melakukan usaha penyediaan tenaga listrik, pelaksanaannya dilakukan oleh badan usaha milik negara. Selaku regulator, pemerintah menguasai usaha penyediaan tenaga listrik melalui regulasi untuk melakukan intervensi berkaitan dengan usaha penyediaan tenaga listrik; dan selaku pelaku usaha, pemerintah via Badan Usaha Milik Negara menguasai usaha penyediaan tenaga listrik melalui kepemilikan badan usaha. Pengaturan tersebut sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana tersebut di atas yang mengamanatkan agar negara menguasai usaha penyediaan tenaga listrik melalui pengaturan atau kepemilikan.
3. Pembagian kewenangan dalam penyelenggaraan ketenagalistrikan antara pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota.
Dalam rangka menunjang semangat otonomi daerah, dalam RUU tentang Ketenagalistrikan ini diatur lebih rinci dan lebih jelas mengenai pembagian kewenangan antara pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan ketenagalistrikan sehingga pemerintah daerah mempunyai peran dan tanggung jawab besar untuk pengembangan sistem ketenagalistrikan.
4. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) diberi prioritas pertama (first right of refusal) untuk melakukan usaha penyediaan tenaga listrik.
BUMN di bidang ketenagalistrikan mendapat prioritas pertama memenuhi kebutuhan tenaga listrik di wilayah usahanya. Pengaturan tersebut juga sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi dimaksud yang mengamanatkan agar BUMN mendapat prioritas utama berusaha di bidang ketenagalistrikan.
5. Badan usaha swasta, koperasi, dan swadaya masyarakat dapat berpartisipasi dalam usaha penyediaan tenaga listrik guna meningkatkan penyediaan tenaga listrik kepada masyarakat. Pemerintah menerbitkan Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik.
6. Usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum meliputi jenis usaha pembangkitan tenaga listrik; transmisi tenaga listrik; distribusi tenaga listrik; dan/atau penjualan tenaga listrik. Dimana pembagian jenis usaha tersebut telah sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi, dan RUU ini tidak mengatur pemisahan usaha (unbundling) BUMN.
7. Harga jual tenaga listrik, harga sewa jaringan dan tarif tenaga listrik bersifat regulated.
Harga jual tenaga listrik dan sewa jaringan tenaga listrik ditetapkan pelaku usaha setelah mendapat persetujuan pemerintah atau pemerintah daerah. Tarif tenaga listrik untuk konsumen ditetapkan oleh pemerintah dengan persetujuan DPR, atau ditetapkan pemerintah daerah dengan persetujuan DPRD. Pemerintah mengatur subsidi untuk konsumen tidak mampu.
Kepala Biro Hukum dan Humas
Sutisna Prawira